Aku berdoa agar tidak menjadi guru tapi justru Allah menjadikanku seorang guru

Ketika menikah akan ada impian sendiri, impian pasangan, dan impian bersama.

Sebab ketika menikah, kita tidak hanya memikirkan diri sendiri, melainkan ada tanggung jawab terhadap pasangan dan terhadap anak.

Dulunya ketika jomblo kita bebas saja meletakkan target mimpi kita. Merasa mimpi itu dalam genggaman. Jauh dari kata mustahil bagi si pemimpi ulung.

Hari ini aku adalah seorang istri, yang ingin mewujudkan mimpi suaminya menjadi pengusaha. Aku seorang ibu, yang bermimpi mengantarkan putranya menjadi orang sholih. Hingga aku lupa dengan mimpiku sendiri.

Kubuang impian menjadi animator karena terlalu impossible. Kukubur mimpi menjadi arsitek karena tidak berada di jalur yang tepat. Belum lagi mimpi sekolah di SMANISDA, sekolah impian setiap anak di Sidoarjo. Ataupun kuliah di ITS, kampus impian di Surabaya. Bukankah aku juga pernah bermimpi menjadi crafter, menjadi bos dengan merk pribadi. Selain menjadi seorang penulis tentunya. Pada skala kecil aku ingin menjadi booktagram.

Tapi tak pernah ada list menjadi guru. Pekerjaan apapun asal jangan jadi guru Ya Allah. Pintaku saat itu. Sebab aku tak pernah merasa pantas atau cocok bekerja dengan anak-anak.

Ternyata Allah punya pilihan lain untukku. Hari ini aku amat bersyukur berada di tempat ini sebagai seorang guru. Sangat senang bisa berinteraksi dengan anak-anak itu. Mungkin disinilah kebermanfaatanku. Aku berdoa agar tidak menjadi guru tapi justru Allah menjadikanku seorang guru. Alhamdulillah.

Lalu setelah menjadi guru apa aku berhenti bermimpi? Tidak. Aku suka belajar, dan aku ingin memperdalam ilmuku. Berkali-kali Pak Yai mengingatkan untuk segera daftar S2, memang sebelumnya aku pernah minta izin. Hanya saja, aku hari ini berbeda. Punya tanggung jawab lebih berat. Ada hal-hal yang tak bisa kuceritakan atau kutulis.

Ya Allah jadikan aku menjadi hamba-Mu yang pandai bersyukur. Aku merasa cukup ya Allah. Kalau memang mimpiku tidak terwujud ya sudah. Lebih baik mengubah energi yang kumiliki pada hal lain. Paling penting passion itu tidak statis, passion itu dinamis. Tidak harus sesuai rencana kita asalkan sesuai rencana Allah. Terus belajar bagaimanapun caranya. Belajar tidak disempitkan pada ruang kuliah. Tidak terbatas pada usia tertentu. Belajarnya sepanjang masa, selama kita sungguh-sungguh, selama kita mau belajar.

eLKISI, 21 September 2023

Nasihat untuk diri yang kadang insecure dan kurang bersyukur di hari lahir ke 32 tahun

Suatu hari setelah Upacara Kemerdekaan 17 Agustus

Saat diambang ingin berhenti, baca ini Cha!

Saya suka sekali dengan beragam kegiatan di eLKISI. Disini saya tidak hanya mengajar tapi mendidik. Tidak hanya mengajar tapi selalu belajar. Mendidik yang paling awal adalah memberikan keteladanan. Saya berharap santri-santri bisa melihat saya sebagai guru fisika yang cinta fisika, melihat saya sebagai sosok pembelajar, dan melihat saya senantiasa bahagia berada di eLKISI. Saya ingin bermanfaat tidak hanya sebagai guru fisika di kelas tapi juga dengan segala kemampuan saya.


Sebenarnya saya paling suka kalau harus berusaha keras mencapai sesuatu. Saya senang ketika harus sibuk sampai kesulitan mengatur waktu. Saya senang ketika bekerja dalam sebuah tim. Saya senang ketika harus lari-larian mengatur suatu acara. Saya senang ketika harus lembur sampai larut dan bangun sangat pagi. Saya senang ketika harus lelah yang lillah. Lelah pun terasa nikmat ketika kita bisa bermanfaat.


Hampir empat tahun saya berada di eLKISI, saya telah mendapatkan banyak pengalaman terutama pelajaran. Kalau boleh berterimakasih, saya sangat bersyukur diberikan kesempatan melakukan banyak hal di eLKISI. Saya banyak belajar. Saya melihat diri saya sendiri yang banyak berubah. Dari yang awalnya tidak bisa apa-apa kemudian dipaksa dan dilatih menjadi manusia yang lebih baik. Semoga tulisan ini selalu menjadi pengingat tentang betapa bersyukur dan bahagianya saya berada di eLKISI.

Wanita berpendidikan dan Jodoh

Saya pernah berada di titik ingin sekali menggapai mimpi duniawi. Sangat ingin menjadi animator. Ngotot ingin menjadi arsitek. Hingga akhirnya saya berada di jurusan Fisika yang kemudian mengantarkan saya pada mimpi baru: Fisikawan.

Saya ingin menjadi ilmuwan.

Di masa-masa akhir perkuliahan, teman-teman sudah menyampaikan rencana mereka ke depan. Ada yang sudah melamar pekerjaan di perusahaan, ada yang ingin menjadi guru, dan tak sedikit yang ingin menjadi ibu rumah tangga saja, pun ada yang berniat melanjutkan studi. Qodarullah, saya diberi kesempatan bekerja di salah satu sekolah swasta islam di Surabaya. Dan qodarullah saya resign setelah satu tahun kemudian Allah menempatkan saya mengajar di salah satu pondok di Mojokerto.

Bisa dibilang saya ini mengalir saja mengikuti arus, tapi saya juga benci kalau hanya melakukan sesuatu dengan sekedarnya. Singkat cerita, ketika saya mengajar itulah semakin muncul keinginan saya untuk sekolah lagi. Karena ternyata saya suka mengajar dan mengajar perlu belajar. Merasa ilmu saya masih sangat kurang dan berharap jika bisa belajar lagi akan menambah kebermanfaatan, saya mantap ingin S2. Suatu hari saya menyampaikan niat saya itu ke Pak Yai. Tidak ada jawaban pasti.

Saya menjalani hari-hari saya seperti itu, dengan penuh semangat mengajar dan dengan tekad kuat untuk lanjut kuliah. Sampai suatu saat saya menyadari sesuatu…

Satu per satu teman saya menikah. Bahkan ada yang harus ikut suami. Sementara saya yang gayanya sombong amat ini, makin berumur. Untuk perempuan, sudah saatnya menikah. Tapi saya menikah dengan siapa?

Bahkan orang-orang menganggap saya aneh, mungkin juga takut karena akan S2. Meski tidak semua, sebagian laki-laki jelas akan berpikir berulang kali. Sedih? Sudah pasti.

Ahh saya kapan.. pasti ada kalanya berpikir demikian. Kemana saya harus mencari jodoh?

Di lingkungan saya yang islami justru saya merasa galau. Mungkin nggak seharusnya perempuan punya keinginan untuk sekolah tinggi.

Tapi, itu dulu. Setahun-nan yang lalu. Hari ini?

Saya duduk di depan laptop ditemani suami yang bermain hape dan si kecil yang sedang terlelap. Dan berita baiknya atau buruknya yaa… sudah hilang keinginan saya untuk kuliah lagi.

Rafqi Namanya

Si anak sholih yang matanya bulat dengan ujung runcing dan selalu berbinar setiap kali menatapku di pagi hari, dengan senyumnya yang sungguh imut menggemaskan ia melepaskan nenennya. Masya Allah begini rasanya punya seorang putra, tidak pernah ingin jauh darinya. Mengingini semua yang terbaik baginya. Meski bundanya ini belum berpengalaman tapi wajah tertawa dan tangis Rafqi membuatku terus belajar.

Terima kasih ya Allah. Terima kasih Nak.

Usianya 3,5 bulan. Sudah pintar tengkurap. Sudah pandai berceloteh. Hobinya ngemut tangan. Tertawa jika melihat ayahnya. Menangis kalau perlu sesekali. Ya Allah.. kamu lucu sekali Nak.

Tapi bukan hanya itu Nak. Tugas bunda bukan cuma membuatmu senang, tapi juga menguatkanmu ketika sedih. Tugas bunda bukan cuma menggendongmu, tapi juga menempamu agar menjadi pemimpin. Tugas bunda bukan cuma merawatmu, tapi juga mendidikmu.

Semoga Allah selalu sehatkanmu, kuatkanmu, mudahkan segala urusanmu. Semoga Allah jadikanmu anak sholih, mujahid, pejuang agamaNya. Semoga Allah memberi kemudahan dan kesabaran untuk ayah dan bunda membersamai tumbuh kembangmu, merawatmu, serta mendidikmu. Sayangku Rafqi, I love you fillah.

Agendas

These few days we have a lot of agendas. It starts with Munaqosyah Tahfidh Maudlu’i for 9 graders, then continue with Bedah Buku for 12 graders. And don’t forget the middle semester exam for 7, 8 ,10, 11 graders.

Tired?

A little bit.

Berat?

Oh that’s my status for 4 days lately.

May Allah always gives us strengthness and healthiness. May Allah always rise our imaan.

Today, we’ve had some guests from university. They are the lecturers. Looking at them makes me feel that I want to be a lecturer too. I want to study more. Looking at Fajar presentation makes me feel that I have to be a scientist.

I don’t know, sometimes I really like physics and want to be a scientist but on the other day, I thought that physics is unnecessary here so I start to hate physics.

Deep in my heart I love physics. Studying physics is like solving some mysterious puzzles.

Back to topic, our agendas are still waiting us to do. Bismillaah. Maybe this was planned by Allah to make us smarter and stronger.

Salah

Saya tipe orang yang ketika ditilang karena memang saya salah maka saya tidak akan bilang “Lha yang didepan itu ga pake helm kok gapapa Pak?”.

Atau saya nggak bakalan nangis-nangis atau muter-muter mencari alasan.

Ya alasan.

Bagi saya, kalau kita salah ya salah saja. Tidak perlu mencari pembenaran apalagi membenarkan alasan-alasan kita. Kalau jelas kita salah, kita melanggar, ya sudahlah. Terima konsekuensinya. Adapun tentang orang lain yang tidak kena sanksi, itu urusan mereka dengan Allah dan pihak berwenang.

Suatu ketika saya pernah menyita sandal santri karena peraturannya wajib bersepatu ketika di sekolah. Dia beralasan kalau kakinya sakit. Ketika saya minta surat keterangan sakit darinya, si santri tersebut tidak bisa menunjukkan dan justru membuat alasan lain. Ahh bocah. Apa saya dulu juga gitu pas sekolah ya?

“Kamu salah nggak?”

“Enggak ustadzah, lah yang lain juga ada yang pake sandal,” jawabnya ngotot.

“Kamu salah enggak?” saya ulangi lagi. Berharap dia mengakui kesalahannya saja.

Masih keukeuh dengan argumen tidak bersalahnya.

“Mas, kalau sampean salah ya salah saja. Akui dulu! Jangan muter-muter. Dengarkan, kalau semua hal minta dimaklumi.. Kapan belajarnya?”

Di hari ketika saya ngajar di kelas santri tersebut. Dia terlihat baik-baik saja, semoga tanpa dendam dan tanpa mengulangi kesalahannya.

Begitulah saya. Saya tipe yang.. namanya aturan ya aturan. Wajib ditaati selama tidak melanggar perintah Allah dan Rasul. Saya tipe yang nggak nerima alasan, soalnya saya juga tidak suka beralasan. Bukan berarti saya kaku dan keras, saya paham kok kalau kata Rasul berikan dulu 70 udzur kepada saudaramu dan jika tidak ada udzur lagi katakan saja – mungkin saudaraku memiliki udzur yang tidak saya tahu.

Saya manusia. Pasti punya masalah tersendiri. Hanya saja.. prinsip saya: jika kita jujur pada Allah nanti Allah pasti akan jujur pada kita. Allah pasti akan memberikan kemudahan.

kesalahan

Karakter

Saya kenal seseorang yang benar-benar berkarakter itu ketika di apalah. Bukan hanya berkarakter sebagai individu tapi juga berkarakter sebagai guru yang membentuk karakter siswanya. Sebut saja namanya Tesa.

Karakter itu ciri khas yang melekat pada diri seseorang. Jika kita membicarakan sesuatu pasti langsung tertuju pada orang tersebut. Misalnya ketika kita membicarakan Tesa maka yang ada di benak kita adalah warna kesukaannya: hijau, kacamata, buku, style-nya yang asik, bahasa Indonesia, ramah, dan penampilannya yang cerdas.

Dia sosok yang dekat dengan anak-anak. Ikhlas memang bukan manusia yang menilai, tapi orang lain juga bisa merasakan ketulusan. Siswa juga punya instinct apakah gurunya tulus atau tidak, apakah gurunya sayang pada mereka atau sekedar mengharap pundi-pundi rupiah. Teman saya, Tesa ini bahkan saat masih di ruang guru sudah dijemput oleh siswa-siswanya.

Kehadirannya dinantikan.

Tutur katanya pun tertata rapi, mungkin karena dia memang orang bahasa ya. Kelihatan juga wawasannya yang luas, jelas berasal dari konsumsi bukunya.

Suatu hari ketika kami lagi jalan-jalan ke Toga, kami bertemu dengan salah satu alumni SMA. Alumni tersebut bercerita tentang kuliahnya, ambil tata boga. “Wah keren, mungkin bisa jadi nanti kita akan lihat kamu di acara master chef,” begitu tanggapan Tesa.

Satu hal yang saya sukai darinya adalah positive thinking-nya. Bagaimana ia memandang sesuatu. Dia orang yang nggak bisa bilang enggak. Nggak enakan. Nggak bisa nolak. Walaupun sambil nahan tangis dia akan tetap melakukan hal itu. Dia bisa mengubah sudut pandangnya. Itu kelebihan sekaligus kekurangan.

Membicarakan Tesa juga berarti membicarakan suara merdunya sambil membayangkan tangannya memainkan gitar.

Guru bahasa Indonesia yang juga ngasih bimbel IPA dan matematika.

Hampir tidak pernah absen di sekolah. Tidak pernah terlambat. Ya karena memang dia tipe yang nggak bisa nyari-nyari alasan. Hehee.

Kalau lagi jalan bareng, biasanya kita ke Royal – shopping setelah gajian, paling sering ke Togamas -beli stationery lucu lucu yang entah kita butuh atau enggak. Suatu hari kami pernah nyari tas di Royal, dan satu hal lagi karakter kuatnya adalah mengucapkan terima kasih kepada penjual setiap keluar toko. Padahal enggak beli.

Meja kerjanya rapi. Barangnya lengkap. Mau nyari alat apa juga ada. Sudah semacam tempat fotokopian lah.

Ngobrolin ide-ide dengannya selalu menyenangkan. Selera jokes kita sama. Bahkan selera sepatu atau baju kita sama. Suatu hari Bu Dyah menunjukkan dua sepatu yang dia sendiri bingung mau membeli yang mana, dan tentu saja saya dan Tesa menunjuk sepatu yang sama. Kalau kita lagi lihat majalah pun kita biasanya punya alasan yang sama dalam memilih barang. Pernah pula Bu Nenden berkomentar tentang rok saya yang warnanya katanya ‘luntur’, eh tapi lagi-lagi saya dan Tesa justru menyukai warna tersebut.

Tesa yang dulu sempat bilang mau resign, ternyata tetap bertahan. Di foto instagramnya juga terlihat amat mencintai pekerjaannya. Darinya saya belajar tulus. Melakukan yang terbaik yang kita bisa. Bermanfaat bagi orang lain. Anak-anak apalah itu butuh sosok sepertinya, sebaliknya Tesa juga butuh ada di apalah.

Teman seperti dia sulit untuk saya dapatkan lagi. Teman seperjuangan mencari jalan S2, meski sampai saat ini tak satupun dari kami yang lanjut S2.

Darinya saya belajar apa itu karakter. Darinya saya belajar menciptakan karakter saya sendiri. Dengan menjadi diri sendiri. Dengan memberikan manfaat di bidang saya. Dengan menjadi ahli di bidang saya.

Ahh~ kangen ustadzah Tesa.

karakter_logo

____________________________________________________________________________________________

Dalam rangka mengingat briefing ustad Fathur tadi pagi, “Orang sukses itu orang yang punya karakter”. Karakter seperti apa yang ingin kita tunjukkan, dan karakter seperti apa yang ingin kita bentuk untuk anak-anak kita.

Netral

muslim-family1

“Tidak ada yang namanya netral dalam mendidik anak. Kalau kita tidak menanamkan kebaikan pada anak maka akan ada orang lain yang menanamkan keburukan padanya.”

Ayah tegas + Ibu kuat = Anak hebat

Ya, sama seperti ketika belajar elektronika dulu. Kalau nggak nyala ya mati, nggak ada yang namanya redup. Seperti biner, kalau nggak 1 ya 0. Kalau bukan taat ya maksiat. Maka kalau bukan surga ya neraka. Pilihannya hanya ada dua.

Katakan yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil. Biarkan anak mengetahui sejak dini, mana yang benar dan salah. Mana yang boleh dan yang tidak. Anak tidak boleh dibiarkan bimbang. Orang tua harus senantiasa mendampingi dan membimbing. Membiarkan anak memilih sendiri sesuai keinginan tidaklah selalu tepat. Namun, terlalu memaksakan tanpa memahamkan juga tidak tepat. Buat anak mengerti dulu. Tanamkan aqidah. Kokohkan ketauhidan. Contohkan adab dan akhlak.

Jangan segan berkata jangan. Tidak usah ragu berkata tidak. Remember, seorang Lukman saja dengan tegas berkata kepada anaknya agar jangan pernah menyekutukan Allah.

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.” (QS. Lukman: 13).

Sumber: https://muslim.or.id/20020-nasehat-akhlak-dari-lukman-pada-anaknya.html

Orang tua adalah teladan. Anak pertama itu role model bagi adik-adiknya.

Saya anak pertama dari seorang adik perempuan dan seorang adik laki-laki. Semaksimal mungkin saya ingin menjadi role model bagi mereka dalam bidang apapun. Meski tentu saya penuh keterbatasan dan jauh dari kata sempurna. Sebab saya tahu, tanpa saya sadari adik-adik saya akan melihat saya. Saya harus berakhlak mulia. Saya harus rajin sekolah. Saya harus menjadi manusia bermanfaat. Terutama kepada adik perempuan saya. Bagaimana etika saya sebagai perempuan itulah yang akan dicontohnya. Dan bagi adik laki-laki saya, bagaimana saya menjadi perempuan cerdas dan tegas itulah yang ingin saya tunjukkan.

Tapi jangan pernah mengira saya sempurna melakukan itu semua, apalagi berhasil. Jauh. Jauh sekali.

Kita belajar dari orang tua kita bagaimana cara mendidik. Kita belajar dari guru-guru kita bagaimana menghargai yang lebih muda. Ambil semua yang baik dan ganti semua yang kurang baik. Iringi setiap langkah dan keputusan kita dengan do’a. Libatkan Allah selalu. Kita berusaha, Allah yang menentukan hasilnya.

Netral tidak pernah ada dalam pendidikan islam.

 

-Terinspirasi dan terkesan dengan pernyataan ustad Felix Y. Siauw-

Syawal, 1438 H.

Orientasi

I would write about how much I’ve changed lately.

question_mark_by_bushlemon

Dulu saya pernah berada di sebuah tempat yang sebagian besar orang memiliki orientasi profit. Kebanyakan hal yang kita lakukan diukur dengan uang. Alat ukur yang tak akan pernah memuaskan obyeknya. Nah ketika mereka berorientasi pada dunia, kala itu orientasi saya berbeda. Kalau masalah uang, bagi saya yasudahlah rizki itu tidak selalu berbentuk materi. Ada yang lebih penting daripada itu. Teman yang baik dan tempat kerja yang kondusif adalah bentuk lain rizki yang jarang kita prediksi.

Orientasi saya adalah happiness alias kebahagiaan. Saya punya buku kecil (saya bikin sendiri) yang saya sebut “buku misi”. Saya menuliskan setiap rencana harian saya di buku tersebut, termasuk terselip beberapa curhatan. Hahaa~ yeah girl. Bagi saya segala sesuatu adalah tantangan dan saya suka meng-improve kemampuan saya. Saya yang butuh menjadikan diri saya menjadi pribadi yang lebih baik. Lebih berani menghadapi banyak hal. Saya suka mempelajari hal-hal baru, menyukai tantangan.

Ah, tapi ternyata orientasi saya pun keliru. Sebab ketika sesuatu yang membuat saya happy itu hilang, jadilah saya kehilangan tujuan. Goyah. Tiba-tiba merasa dunia tak lagi menyenangkan.

Itu dulu sampai saya merasa tertampar oleh perspektif baru yang baru saya temui. Dua tahun saya beradaptasi. Membolak-balikkan pola pikir yang telah terbentuk dalam diri saya. Sulit luar biasa. Mengingat betapa keras kepalanya saya. Mengingat betapa tingginya harga diri saya. Mengubah perspektif saya. Menyamakan frekuensi saya dengan frekuensi komunitas tersebut.

Kini, jika dibilang saya berubah? Ehm, lumayan. Let say I’m growing 🙂

Orientasi saya sekarang adalah Allah. Segalanya Allah. Dan itu lebih dari cukup. Hidup saya saat ini sudah bahagia. Dan jika ada kebahagiaan lebih, itu bonus dari Allah lah.

Sesuatu yang paling saya benci adalah tidak punya tujuan. Saya selalu kagum dengan mereka yang punya tujuan jelas. Saya pernah iri setengah mati pada seseorang yang punya gambaran jelas mimpinya. Sekarang sih saya sudah tak punya rasa iri apapun, saya bangga dengan diri saya sendiri.

Jadikan Allah sebagai orientasi kita. Jadilah manusia yang menyebarkan manfaat sebanyak-banyaknya. Jangan lelah belajar, semoga dengan bertambahnya ilmu bertambah pula ke-tawadhu’ an kita serta bertambah nilai kebermanfaatan kita bagi sesama.

Tulisan ini pure sebagai pengingat diri.

What a woman need

I write as a ‘quarter century’ year old woman.

Sekarang saya bisa merasakannya. Menikmati fase doki-doki persiapan menikah. Ditanya kesiapan, siap sih siap Insya Allah. Tinggal nunggu yang klik dan nunggu yang ngehalalin aja.

Bismillaah, ini pemikiran saya pribadi berdasarkan apa yang saya pelajari dan pahami selama ini.

Saya tidak ingin menikah karena cinta saja. Sejatinya karena cinta itu datangnya dari Allah, hal itu bisa muncul dari ketaatan kita pada perintahNya. Bagi saya cinta itu semacam hadiah pernikahan dari Allah jika prosesnya sesuai syariatNya.

Saya bukan penganut paham cinta pada pandangan pertama. Yaah walaupun tiap hari ketemu, walau teman pun, yang kita ketahui hanyalah sebagian kecil dari orang tersebut. Sebaliknya, yang diketahui orang tersebut hanya sebagian kecil dari kita. Saya ingin menjalani semua sebagaimana mestinya, kalau bahasa saya sih, menjalani sebagaimana orang normal pada umumnya. Sebelum khitbah saya ingin cukup kenal siapa orang yang akan mengkhitbah saya. Saya harus tau latar belakangnya. Memastikan visi misinya sesuai dengan punya saya. Seperti orang normal lainnya lah, tukeran biodata ya tukeran biodata. Lalu kroscek segala informasi. Menanyakan apa yang perlu ditanyakan. Itu penting. Saya tidak ingin karena emosi sesaat akhirnya ada yang terlewat. Tentu semua proses diiringi dengan pendekatan kepada sang pencipta. Allah yang memberi perintah untuk menikah, Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sudah memberi contoh dan rambu-rambunya. Saya ingin tetap berada di koridor yang tepat. Tak henti berdo’a dan tak lelah meminta petunjuk. Saya takut karena ke-sok tau-an kita sebagai manusia malah melupakan sang pencipta.

Saya pribadi tidak mematok standar yang bagaimana bagaimana. Namun, jika dituliskan dengan bahasa saya. Saya akan menyebutkan dua syarat:

Apik. Sholih harga mati. Pastikan bukan orang syiah dan bukan pendukung ahoax. Hahaa~ Pastikan role model nya adalah Nabi Muhammad. Pastikan orang yang mau terus belajar.

Asyik. Dua orang sholih yang bersama belum tentu cocok lho. Itu kata ustadz Nuzul Dzikri. Pastikan secara karakter kita klik. Sesuai dengan diri kita. Bisa menerima satu paket kelebihan dan kekurangannya. Pastikan dialah partner yang pas buat kita seumur hidup.

Sebetulnya semua perempuan itu sama. Suka diistimewakan. Suka diperjuangkan. Dan butuh kepastian. Selebihnya masing-masing perempuan punya kriteria tersendiri 🙂

Treat a woman well yeah!

Best-of-you-are-best-to-their-women