Buku karya Valiant Budi ini merupakan kisah lanjutan dari buku pertamanya “Kedai 1001 Mimpi”. Katanya di buku pertama tersebut Valiant Budi alias Vabyo menceritakan bagaimana pengalamannya selama bekerja di Arab Saudi. Ia bekerja sebagai barista dibawah perintah seorang bos asal Filipina dan ditemani beberapa pegawai lain dari berbagai latar belakang. Ternyata, Vabyo yang juga seorang seleb twit ini mengatakan bahwa banyak kejadian absurd selama ia bekerja di sana. Semua tertulis di buku pertama, sementara di buku kedua ini Vabyo banyak bercerita tentang kehidupannya pasca berhasil kabur dari negara timur tengah tersebut.
Nah kan aku nggak baca buku pertama ya, tetapi di buku kedua ini juga disiratkan sedikit cerita Vabyo selama menjadi TKI. Beberapa cerita flash back, serta cerita Vabyo ketika melanjutkan kehidupan di Indonesia. Titik berat di buku kedua ini adalah kita diajak mengikuti nasib Vabyo, mulai dari mendirikan kedai kopi, menghadapi para peneror, muncul sebagai narasumber talkshow, sampai cerita jalan-jalannya ke Eropa.
Aku sempat ingin menghentikan membaca ketika di awal-awal halaman. Kenapa? Entahlah mungkin karena nggak terima aja saat Vabyo menyebutkan satu persatu keburukan Arab. Tapi urung karena kok rasanya nggak bijak banget menghakimi hanya dari beberapa halaman awal saja. Akhirnya kuputuskan melanjutkan membaca, setidaknya aku ingin tahu seperti apa sebenarnya si Vabyo ini. Dan berhasil rampung dalam empat hari dengan perasaan geram pengen segera menulis review.
Vabyo benar-benar membeberkan pengalaman buruknya ketika di Arab. Dan aku sangat tidak merekomendasikan dan bahkan nggak boleh dibaca oleh orang awam, terutama bagi mereka yang kerap membenci Arab. Disisi lain bagi pembela Arab pun nggak boleh langsung membaca apalagi kalau bacanya hanya halaman awal dan bacanya TANPA DISERTAI ILMU serta KEJERNIHAN PIKIRAN. Aku berada dimana? Aku adalah yang membenci kebencian terhadap Arab (bagaimanapun kita tidak bisa men-judge sesuatu hanya karena kita mendengar kata orang atau hanya karena berita yang tak jelas kevalidannya, pun hanya dari beberapa bulan pengalaman yang diambil dari satu sudut pandang saja) dan aku bukan yang berani berkoar membela negara dengan dua kota suci itu (ilmuku sangat amat rendah dan aku juga nggak pernah merasakan tinggal disana).
Aku akan berkomentar dari sudut pandangku sebagai pembaca. Vabyo kan hanya bercerita dari sudut pandang seorang TKI ya. Pegawai yang bekerja di sebuah kedai dan dikelilingi orang dari berbagai negeri dan berbagai latar belakang. Namanya pegawai dimana-mana juga sama – harus ikut kata bos. Sami’na wa atho’na. Ia berada di lingkungan yang sepertinya jauh dari menuntut ilmu. Disana hanya bekerja, nyari uang saja, baik bos atau pegawai. Bukan lingkungan pendidikan seperti masjid atau sekolah, bukan dikelilingi orang-orang berpendidikan terutama pendidikan agama atau pendidikan lainnya. Jadi aku melihatnya sama, kalau bukan lingkungan pendidikan ya manusia-manusianya jauh dari berpendidikan. Beda lagi kalau misalnya Vabyo datang ke Arab untuk menuntut ilmu, ia pasti akan datang ke Universitas Madinah misalnya, dan akan dikelilingi manusia-manusia berpendidikan. Jangan men-judge sesuatu itu jelek hanya dari satu sisi kecil.
Tapi Vabyo juga cukup rasional, selain menyebutkan kejadian buruk TKI di Arab, ia juga menceritakan tentang seorang pemain sepak bola asing yang meninggal di Indonesia akibat rentetan dari gaji yang tidak dibayar. Nasib pegawai asing yang bekerja di negeri orang. Jauh dari keluarga, kesulitan bahasa, budaya yang berbeda, dan buta hukum negara. Hal ini membuka mata kita, terutama bagi muslim, ingatlah bagaimana akhlak Rasulullah memperlakukan sesama manusia. Ingat juga bahwa kita harusnya membayar gaji pegawai sebelum keringatnya kering. Ini juga membuat kita berandai jika standar yang ditetapkan diseluruh dunia itu sama, hukum yang dipakai satu, hukum buatan Allah sesuai Al Qur’an dan As Sunnah.
Salah satu alasan aku sangat tidak menyarankan bagi pembaca awam adalah karena buku ini ditulis subyektif dari sudut pandang Vabyo. Ia pernah menuliskan bahwa mengucapkan selamat natal termasuk aspek sosial dalam bertoleransi [hal. 194], bayangkan jika ada pembaca yang merasa memiliki sudut pandang yang sama pasti akan merasa bangga karena punya teman serupa. Dalam hati mengiyakan bahwa bertoleransi itu boleh selama tidak mengikuti ibadahnya. Padahal nggak semudah itu kita memilih pendapat yang memudahkan. Setiap ada ikhtilaf (perbedaan) para ulama kita bisa milih yang menguntungkan kita, maka sampai akhir kita akan menjadi pengekor alias taklid buta, mengekor bukan pada ulama tapi pada hawa nafsu kita. Sama halnya ketika Vabyo traveling ke Vatikan, memasuki sebuah gereja dan seolah turut berdo’a meskipun tuhannya berbeda [hal. 245-246]. Pembaca mungkin menganggap kalau berdo’a di tempat apapun itu tak masalah.
Terus terang ini paham yang berbahaya. Bagaimana mungkin menganggap semua agama adalah sama, menganggap agama hanya embel-embel identitas [hal. 247]. Ini paham paling menyesatkan saat ini. Muslim kok nggak berwibawa banget, sudah jelas Allah menyebutkan bahwa agama disisi Allah hanya Islam.
Anyway terimakasih untuk buku ini, untukku ini bukan buku motivasi atau menginspirasi, tapi cukup memberi informasi tentang Arab Saudi. Betapa jauhnya kita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam, kita sudah berada di akhir zaman. Fitnah bertebaran, bahkan di negara kelahiran Nabi. Islam semakin asing, sementara apakah kita termasuk orang yang beruntung? Orang yang tetap berpegang pada ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam disaat semua berbuat kerusakan?
Paperback, 384 pages
Published May 2014 by GagasMedia