Wanita berpendidikan dan Jodoh

Saya pernah berada di titik ingin sekali menggapai mimpi duniawi. Sangat ingin menjadi animator. Ngotot ingin menjadi arsitek. Hingga akhirnya saya berada di jurusan Fisika yang kemudian mengantarkan saya pada mimpi baru: Fisikawan.

Saya ingin menjadi ilmuwan.

Di masa-masa akhir perkuliahan, teman-teman sudah menyampaikan rencana mereka ke depan. Ada yang sudah melamar pekerjaan di perusahaan, ada yang ingin menjadi guru, dan tak sedikit yang ingin menjadi ibu rumah tangga saja, pun ada yang berniat melanjutkan studi. Qodarullah, saya diberi kesempatan bekerja di salah satu sekolah swasta islam di Surabaya. Dan qodarullah saya resign setelah satu tahun kemudian Allah menempatkan saya mengajar di salah satu pondok di Mojokerto.

Bisa dibilang saya ini mengalir saja mengikuti arus, tapi saya juga benci kalau hanya melakukan sesuatu dengan sekedarnya. Singkat cerita, ketika saya mengajar itulah semakin muncul keinginan saya untuk sekolah lagi. Karena ternyata saya suka mengajar dan mengajar perlu belajar. Merasa ilmu saya masih sangat kurang dan berharap jika bisa belajar lagi akan menambah kebermanfaatan, saya mantap ingin S2. Suatu hari saya menyampaikan niat saya itu ke Pak Yai. Tidak ada jawaban pasti.

Saya menjalani hari-hari saya seperti itu, dengan penuh semangat mengajar dan dengan tekad kuat untuk lanjut kuliah. Sampai suatu saat saya menyadari sesuatu…

Satu per satu teman saya menikah. Bahkan ada yang harus ikut suami. Sementara saya yang gayanya sombong amat ini, makin berumur. Untuk perempuan, sudah saatnya menikah. Tapi saya menikah dengan siapa?

Bahkan orang-orang menganggap saya aneh, mungkin juga takut karena akan S2. Meski tidak semua, sebagian laki-laki jelas akan berpikir berulang kali. Sedih? Sudah pasti.

Ahh saya kapan.. pasti ada kalanya berpikir demikian. Kemana saya harus mencari jodoh?

Di lingkungan saya yang islami justru saya merasa galau. Mungkin nggak seharusnya perempuan punya keinginan untuk sekolah tinggi.

Tapi, itu dulu. Setahun-nan yang lalu. Hari ini?

Saya duduk di depan laptop ditemani suami yang bermain hape dan si kecil yang sedang terlelap. Dan berita baiknya atau buruknya yaa… sudah hilang keinginan saya untuk kuliah lagi.

Rafqi Namanya

Si anak sholih yang matanya bulat dengan ujung runcing dan selalu berbinar setiap kali menatapku di pagi hari, dengan senyumnya yang sungguh imut menggemaskan ia melepaskan nenennya. Masya Allah begini rasanya punya seorang putra, tidak pernah ingin jauh darinya. Mengingini semua yang terbaik baginya. Meski bundanya ini belum berpengalaman tapi wajah tertawa dan tangis Rafqi membuatku terus belajar.

Terima kasih ya Allah. Terima kasih Nak.

Usianya 3,5 bulan. Sudah pintar tengkurap. Sudah pandai berceloteh. Hobinya ngemut tangan. Tertawa jika melihat ayahnya. Menangis kalau perlu sesekali. Ya Allah.. kamu lucu sekali Nak.

Tapi bukan hanya itu Nak. Tugas bunda bukan cuma membuatmu senang, tapi juga menguatkanmu ketika sedih. Tugas bunda bukan cuma menggendongmu, tapi juga menempamu agar menjadi pemimpin. Tugas bunda bukan cuma merawatmu, tapi juga mendidikmu.

Semoga Allah selalu sehatkanmu, kuatkanmu, mudahkan segala urusanmu. Semoga Allah jadikanmu anak sholih, mujahid, pejuang agamaNya. Semoga Allah memberi kemudahan dan kesabaran untuk ayah dan bunda membersamai tumbuh kembangmu, merawatmu, serta mendidikmu. Sayangku Rafqi, I love you fillah.