Penulis menyatakan bahwa buku ini isinya bermacam-macam. Sebagai pembaca saya sepakat, buku ini isinya bermacam-macam. Saya belum bisa menarik benang merah tentang tema atau hubungan antarbab. Kecuali satu hal, bahwa buku ini ditulis dengan tujuan agar setiap bab bisa memberi manfaat. Mungkin itulah hubungan antarbab, kesamaannya adalah sama-sama memberi manfaat.
Dari sekian macam topik yang dibahas penulis, saya paling tertarik ketika penulis menceritakan tentang almamater beliau – Gontor. Secara lugas penulis bisa bercerita seperti apakah lembaga pendidikan yang sudah berdiri sekian tahun tersebut. Secara tegas penulis menyatakan kekagumannya pada kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, nasihat para kiai, dan aktivitas yang ada di Gontor. Sementara saya sendiri bergumam, “Orang ini benar-benar mencintai dan bangga terhadap almamaternya.”
Jika Anda mempunyai teman yang alumni Gontor, Anda akan bisa menyimpulkan seperti apa produk lulusannya. Saat Anda mengenal alumni Gontor, Anda mungkin akan berdecak “Ah~ pantas saja wong alumni Gontor”. Seperti itu juga yang saya simpulkan dari beberapa orang yang saya kenal, meskipun ya tetap saja ada ‘oknum’. Begitu pula ketika saya membaca buku ini, rasanya para alumni ini berlomba-lomba untuk menyebarkan manfaat sebagaimana para kiai pernah berpesan.
“BERANI HIDUP TAK TAKUT MATI, TAKUT MATI JANGAN HIDUP, TAKUT HIDUP MATI SAJA.” Nasihat dari Kiai pendiri Pondok Modern Gontor. Sebelum membaca tulisan ini, saya pernah mendengar cerita dari teman saya. Dan setiap kali bercerita teman saya itu selalu penuh semangat seolah membayangkan sedang berada dalam atmosfer pesantren besar tersebut.
Buku ini sebetulnya menceritakan tentang sudut pandang penulis dalam melihat segala sesuatu. Sudut pandang yang banyak terpengaruh dari latar belakang pendidikannya. Termasuk tentang berdakwah, tentang bagaimana seharusnya menjadi ulama yang intelek bukan intelek yang tahu agama. Saya sepakat dengan pernyataan beliau bahwa dakwah itu merangkul bukan memukul. Dakwah itu dengan hikmah. Selain itu saya juga sepakat tentang bagaimana penulis menjelaskan tentang profesionalisme, dimana hal tersebut hampir luntur pada saat ini. Rupanya sikap profesional adalah bagian dari kesalehan.
Al Qur’an sangat menentang tindakan-tindakan yang tidak produktif. Hal ini berkaitan erat dengan waktu. Oleh Al Qur’an manusia diseru untuk mempergunakan waktu sebaik mungkin. Caranya dengan menginvestasikan waktu; mengisinya dengan tindakan-tindakan positif dan kerja produktif. Manusia yang tidak mempergunakan waktunya dengan baik termasuk dalam golongan yang merugi. [halaman 97]
Demikianlah bekerja dengan serius dan profesional adalah sebuah ajaran dan bahkan kewajiban. [halaman 100]
Mengingatkan kita kembali bahwa profesionalisme, produktivitas, dan kreativitas adalah bagian dari kesalehan. Bagian dari kewajiban kita sebagai muslim.
Kekurangan buku ini adalah tidak adanya tema khusus yang menghubungkan tiap bab, dan agak tidak adil karena buku ini subyektif berdasarkan sudut pandang penulis dalam menilai sesuatu. Sehingga mungkin agak membosankan, termasuk apa hubungan judul buku dengan isinya. Tapi bagi yang penasaran seperti apa Pondok Pesantren Gontor, buku ini cukup memberi gambaran.
Baca dan pahami semua ilmu, jangan dibatasi oleh pelajaran kuliah. Tidak mengapa jika seorang calon dokter mempelajari sastra. Tidak ada salahnya pula jika seorang calon insinyur memahami ilmu agama. Sebab kemampuan seorang pemuda betul-betul ditentukan oleh seberapa banyak pengetahuan yang dia miliki. [halaman 68]